Kyai Arsantaka yang pada masa mudanya bernama Kyai Arsakusuma adalah putra dari Bupati Onje II. Sesudah dewasa diceritakan bahwa kyai Arsakusuma meninggalkan Kadipaten Onje untuk berkelana ke arah timur dan sesampainya di desa Masaran (Sekarang di Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara) diambil anak angkat oleh Kyai Wanakusuma yang masih anak keturunan Kyai Ageng Giring dari Mataram.
Pada tahun 1740 – 1760, Kyai Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang termasuk wilayah desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh Tumenggung Dipayuda I.
Banyak riwayat yang menceritakan tenang heroisme dari Kyai Arsantaka antara lain ketika terjadi perang Jenar, yang merupakan bagian dari perang Mangkubumen, yakni sebuah peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II dikarenakan Pangeran mangkubumi tidak puas terhadap sikap kakanya yang lemah terhadap kompeni Belanda. Dalam perang jenar ini, Kyai Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.
Dikarenakan jasa dari Kyai Arsantaka kepada Kadipaten Banyumas pada perang Jenar, maka Adipati banyumas R. Tumenggung Yudanegara mengangkat putra Kyai Arsantaka yang bernama Kyai Arsayuda menjadi menantu. Seiring dengan berjalannya waktu, maka putra Kyai Arsantaka yakni Kyai Arsayuda menjadi Tumenggung Karangwelas dan bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Masa masa pemerintahan Kyai Arsayuda dan atas saran dari ayahnya yakni Kyai Arsantaka yang bertindak sebagai penasihat, maka pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Purbalingga yang diikuti dengan pembangunan pendapa Kabupaten dan alun-alun.
Nama Purbalingga ini bisa kita dapati didalam kisah-kisah babad. Adapun Kitab babad yang berkaitan dan menyebut Purbalingga diantaranya adalah Babad Onje, Babad Purbalingga, Babad Banyumas dan Babad Jambukarang. Selain dengan empat buah kitab babat tersebut, rekonstruksi sejarah Purbalingga, juga dilakukan dengan melihat arsip-arsip peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang tersimpan dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Menurut sejarahnya, Purbalingga ternyata pernah menduduki peranan penting pada masa kejayaan kerajaan tempo dulu. Nama Purbalingga erat dengan kisah kejayaan Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Kelima kerajaan itu secara bergantian pernah menguasai Purbalingga sebagai wilayah dudukan.
Hal ini dibuktikan dengan kentalnya pengaruh kebudayaan pada masa itu terhadap sistem kebudayaan masyarakat Purbalingga. Pengaruh tersebut masih dapat dijumpai hingga sekarang. Ada yang berwujud peninggalan benda purbakala (artefak), berupa seni tradisi, sistem religi (upacara adat), dan sebagainya.
Bukti-bukti lain yang berwujud dokumen literer, diantaranya berupa serat atau sastra babad. Sastra Babad masuk dalam genre sastra sejarah yang berkembang di Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia disebut dengan istilah hikayat, dan silsilah. Atau Tambo di Padang dan Lontara di Sulawesi Selatan.
Sejarah Purbalingga terdokumentasi dalam 4 (empat) babad berbeda.
Pertama,
Babad Onje milik S Warnoto – dulu menjabat Carik atau Sekdes Onje, Kecamatan Mrebet- Purbalingga.
Kedua,
Babad Purbalingga, koleksi perpustakaan Museum Sonobudaya Yogyakarta.
Ketiga,
Babad Jambukarang yang diterbitkan Soemodidjojo Mahadewa Yogyakarta tahun 1953.
Keempat,
adalah Babad Banyumas yang tersimpan di Museum Sonobudaya Yogyakarta.
Berdasarkan bukti literer itulah kemudian sejarah Kabupaten Purbalingga direkontruksi. Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Gajah Mada (UGM) yang ditunjuk pemkab Purbalingga untuk melakukan penelitia, membandingkan kata ke-empat babad itu dengan arsip peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang disimpan dalam koleksi Arsip Nasional RI.
Hasilnya disimpulkan (disepakati) bahwa hari jadi Purbalingga jatuh pada tanggal 18 Desember 1830.
Hari jadi Kabupaten Purbalingga telah ditetapkan melalui Peraturan daerah (Perda) No. 15 tahun 1996, tanggal 19 November 1996 yang jatuh pada tanggal 18 Desember 1830 atau 3 Rajab 1246 Hijriah atau 3 Rajab 1758 Je.
Selanjutnya hari jadi itu diberi candrasengkala “Anggelar Pakarti Sumujuding Hyang Wisesa (1758) dan suryasengkala “Sireping Rananggana Hangesti Praja (1830). / (Hr/RSP)
*Dirangkum dari Buku Sejarah lahirnya Kabupaten Purbalingga (Kerjasama Pemda Kab Dati II
Purbalingga dengan LPM UGM / 1997) dan Buku Kilas Sejarah Purbalingga (Tri Atmo / 2008)
URUTAN BUPATI DI KABUPATEN PURBALINGGA
BUPATI PERTAMA : RADEN TUMENGGUNG DIPOYUDO III
Anak Ki Arsantaka yaitu Ki Arsayuda diangkat menjadi patih Karanglewas mendampingi Raden Ngabehi Dipoyudo II. Tetapi Raden Tumenggung Dipoyudo II tidak lama memimpin Karanglewas karena sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Sebagai gantinya, diangkatlah Ki Arsayuda dengan gelar Raden Tumenggung Dipoyudo III.
Atas petunjuk Ki Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di Karanglewas di pindah ke desa Purbalingga yang dianggap lebih strategis dan subur. Sejak saat itu, Purbalingga sudah lepas dari Banyumas dan berdiri sederajat langsung di bawah pemerintahan pusat di Surakarta.
Tanggal 23 Juli 1759 dibangunlah alun-alun, kantor kabupaten dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan di Purbalingga.
Raden Tumenggung Dipoyudo III memerintah tahun 1759 – 1787. Ia mempunyai tiga istri terdiri satu istri Padmi dan dua Istri Selir. Karena dari istri Padmi maupun selir pertama tidak menurunkan putra, sebagai gantinya diangkat putra Nyai Tegalpingen (selir kedua) yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipokusumo I. Setelah wafat, Raden Tumenggung Dipoyudo III dimakamkan di Makam Arsantaka dukuh Pekuncen Purbalingga Lor.
BUPATI KEDUA : RADEN TUMENGGUNG DIPOKUSUMO I ( 1792 – 1811 )
Sebelum Raden Tumenggung Dipoyudo III menyerahkan jabatan kepada Raden Tumenggung Dipokusumo I, untuk sementara pemerintah sehari-hari diserahkan kepada Raden Yudokusumo dengan pangkat Ngabehi (Bupati Anom). Ia memerintah selama empat tahun yaitu 1778-1782 karena pada saat itu Raden Tumenggung Dipokusumo I belum cukup umur.
Pada tahun 1792 Raden Tumenggung Dipokusumo I resmi menggantikan Raden Yudokusumo. Ia memerintah tahun 1792 – 1811.
BUPATI KETIGA : RADEN MAS TUMENGGUNG BROTOSUDIRO ( 1811 – 1831 )
Sebagai pengganti Raden Tumenggung Dipokusumo I, diangkatlah Raden Mas Danukusumo dengan gelar Raden Mas Tumenggung Brotosudiro. Ia adalah putra pertama dari istri Padmi Raden Ayu Angger, putri Kanjeng Pangeran Haryo Prabuwijoyo I, cucu KGPAA Mengkunegoro I.
Ia memerintah tahun 1811 – 1831. Selama berkuasa, pemerintahannya masih dibawah Pemerintahan Kesunanan Surakarta.
Pada saat Raden Mas Tumenggung Brotosudiro memerintah, terjadi perang Diponegoro dimulai 20 Juli 1825. Perang itu di Purbalingga dikenal dengan sebutan Perang Biting. Perang Biting berakhir tahun 1830 setelah ada kabar bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda.
Setelah perang Diponegoro berakhir, daerah Banyumas termasuk Purbalingga, dinyatakan lepas dari pemerintahan Kasunanan Surakarta termasuk Yogyakarta dan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.Banyumas dinyatakan sebagai daerah Karesidenan.
Penataan wilayah Banyumas disebutkan dalam Besluit Gouverneur Generaal yang diterbitkan di Bogor tanggal 18 Desember 1830 Nomor 1. Isinya pembagian wilayah Banyumas, Bagelen dan Ledhok, hendaknya berdasarkan pada rencana yang telah disiapkan oleh Markus dari hasil perundingan dan pemikiran dengan Van Den Haer, Van Lewick, Van Pabst yang kemudian ditegaskan lewat Beluit tanggal 21 Agustus 1830.
Selanjutnya pada bulan November 1841 atau bulan Syuro 1760, Jendral De Kock mengunjungi Banyumas dan mengadakan konferensi di Sokaraja dengan para Adipati, Ngabehi dan Punggawa yang berjasa dalam perang Diponegoro. De Kock mengumumkan dan menetapkan pemerintahan Karesidenan Banyumas dengan Residen pertama Tuan Stuurler. Wilayah Banyumas dibagi menjadi lima daerah Kabupaten.
1. Kabupaten Banyumas dengan bupati Raden Tumenggung Cokrowedono I, mendapat gelar Adipati dan tetap menjadi Wedono Bupati.
2. Kabupaten Purwokerto dengan bupatinya Raden Ngabehi Brotodimejo yang semula bupati Sokaraja dnegan gelar Raden Tumenggung Brotodimejo.
3. Kabupaten Purbalingga dengan bupati Raden Mas Brotosudiro, Setelah pensiun, digantikan oleh adik kandungnya yaitu Raden Mas Tumenggung Dipokusumo II yang diangkat tanggal 22 Agustus 1830.
4. Kabupaten Banjarnegara dengan bupati Raden Tumenggung Dipayuda IV dari Adireja dan diangkat 22 Agustus 1830.
5. Kabupaten Majenang dengan bupati Raden Tumenggung Prawironegoro berkedudukan di Dayeuhluhur yang kemudian menjadi kabupaten Majenang.
Dari catatan sejarah, Raden Mas Tumenggung Brotosudiro (Bupati Purbalingga ketiga) mengalami dua zaman pemerintahan yakni pemerintahan Kesunanan Surakarta dan pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah wafat, Raden Mas Tumengguang Brotosudiro dimakamkan di pesarean Arsantaka Purbalingga Lor.
Anak Ki Arsantaka yaitu Ki Arsayuda diangkat menjadi patih Karanglewas mendampingi Raden Ngabehi Dipoyudo II. Tetapi Raden Tumenggung Dipoyudo II tidak lama memimpin Karanglewas karena sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Sebagai gantinya, diangkatlah Ki Arsayuda dengan gelar Raden Tumenggung Dipoyudo III.
Atas petunjuk Ki Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di Karanglewas di pindah ke desa Purbalingga yang dianggap lebih strategis dan subur. Sejak saat itu, Purbalingga sudah lepas dari Banyumas dan berdiri sederajat langsung di bawah pemerintahan pusat di Surakarta.
Tanggal 23 Juli 1759 dibangunlah alun-alun, kantor kabupaten dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan di Purbalingga.
Raden Tumenggung Dipoyudo III memerintah tahun 1759 – 1787. Ia mempunyai tiga istri terdiri satu istri Padmi dan dua Istri Selir. Karena dari istri Padmi maupun selir pertama tidak menurunkan putra, sebagai gantinya diangkat putra Nyai Tegalpingen (selir kedua) yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipokusumo I. Setelah wafat, Raden Tumenggung Dipoyudo III dimakamkan di Makam Arsantaka dukuh Pekuncen Purbalingga Lor.
BUPATI KEDUA : RADEN TUMENGGUNG DIPOKUSUMO I ( 1792 – 1811 )
Sebelum Raden Tumenggung Dipoyudo III menyerahkan jabatan kepada Raden Tumenggung Dipokusumo I, untuk sementara pemerintah sehari-hari diserahkan kepada Raden Yudokusumo dengan pangkat Ngabehi (Bupati Anom). Ia memerintah selama empat tahun yaitu 1778-1782 karena pada saat itu Raden Tumenggung Dipokusumo I belum cukup umur.
Pada tahun 1792 Raden Tumenggung Dipokusumo I resmi menggantikan Raden Yudokusumo. Ia memerintah tahun 1792 – 1811.
BUPATI KETIGA : RADEN MAS TUMENGGUNG BROTOSUDIRO ( 1811 – 1831 )
Sebagai pengganti Raden Tumenggung Dipokusumo I, diangkatlah Raden Mas Danukusumo dengan gelar Raden Mas Tumenggung Brotosudiro. Ia adalah putra pertama dari istri Padmi Raden Ayu Angger, putri Kanjeng Pangeran Haryo Prabuwijoyo I, cucu KGPAA Mengkunegoro I.
Ia memerintah tahun 1811 – 1831. Selama berkuasa, pemerintahannya masih dibawah Pemerintahan Kesunanan Surakarta.
Pada saat Raden Mas Tumenggung Brotosudiro memerintah, terjadi perang Diponegoro dimulai 20 Juli 1825. Perang itu di Purbalingga dikenal dengan sebutan Perang Biting. Perang Biting berakhir tahun 1830 setelah ada kabar bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda.
Setelah perang Diponegoro berakhir, daerah Banyumas termasuk Purbalingga, dinyatakan lepas dari pemerintahan Kasunanan Surakarta termasuk Yogyakarta dan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.Banyumas dinyatakan sebagai daerah Karesidenan.
Penataan wilayah Banyumas disebutkan dalam Besluit Gouverneur Generaal yang diterbitkan di Bogor tanggal 18 Desember 1830 Nomor 1. Isinya pembagian wilayah Banyumas, Bagelen dan Ledhok, hendaknya berdasarkan pada rencana yang telah disiapkan oleh Markus dari hasil perundingan dan pemikiran dengan Van Den Haer, Van Lewick, Van Pabst yang kemudian ditegaskan lewat Beluit tanggal 21 Agustus 1830.
Selanjutnya pada bulan November 1841 atau bulan Syuro 1760, Jendral De Kock mengunjungi Banyumas dan mengadakan konferensi di Sokaraja dengan para Adipati, Ngabehi dan Punggawa yang berjasa dalam perang Diponegoro. De Kock mengumumkan dan menetapkan pemerintahan Karesidenan Banyumas dengan Residen pertama Tuan Stuurler. Wilayah Banyumas dibagi menjadi lima daerah Kabupaten.
1. Kabupaten Banyumas dengan bupati Raden Tumenggung Cokrowedono I, mendapat gelar Adipati dan tetap menjadi Wedono Bupati.
2. Kabupaten Purwokerto dengan bupatinya Raden Ngabehi Brotodimejo yang semula bupati Sokaraja dnegan gelar Raden Tumenggung Brotodimejo.
3. Kabupaten Purbalingga dengan bupati Raden Mas Brotosudiro, Setelah pensiun, digantikan oleh adik kandungnya yaitu Raden Mas Tumenggung Dipokusumo II yang diangkat tanggal 22 Agustus 1830.
4. Kabupaten Banjarnegara dengan bupati Raden Tumenggung Dipayuda IV dari Adireja dan diangkat 22 Agustus 1830.
5. Kabupaten Majenang dengan bupati Raden Tumenggung Prawironegoro berkedudukan di Dayeuhluhur yang kemudian menjadi kabupaten Majenang.
Dari catatan sejarah, Raden Mas Tumenggung Brotosudiro (Bupati Purbalingga ketiga) mengalami dua zaman pemerintahan yakni pemerintahan Kesunanan Surakarta dan pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah wafat, Raden Mas Tumengguang Brotosudiro dimakamkan di pesarean Arsantaka Purbalingga Lor.
BUPATI KEEMPAT : RADEN MAS TUMENGGUNG ADIPATI DIPOKUSUMO II (1831 – 1855 )
Setelah Raden Mas Tumenggung Brotosudiro berhenti karena pensiun,
sebagai pengganti diangkatlah adik kandungnya yaitu Raden mas
tarunokusumo sebagai bupati keempat dengan gelar Raden mas Tumenggung
Dipokusumo II pada tanggal 22 Agustus 1831. Setelah Susuhunan Pakubuwono
V mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada
tanggal 23 Pebruari 1835, ia kembali mendapat gelar Adipati sehingga
memiliki gelar lengkap Raden Mas Tumenggung Adipati Dipokusumo II. Ia
merupakan bupati Purbalingga pertama yang diangkat oleh pemerintah
Hindia Belanda. (Bupati sebelumnya diangkat oleh susuhunan Surakarta).
RMTA Dipokusumo II berhenti karena pension tahun 1855, dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Dipokusumo III (anak dari istri ketiga yaitu Raden Ayu Karangsari).
Setelah RMTA Dipokusumo II wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana desa Kajongan, Bojongsari.
BUPATI KELIMA : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO III ( 1855 – 1868 )
Raden Adipati Dipokusumo III sebelumnya bernama Ngabehi tarunokusumo. Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan, Bojongsari.
BUPATI KEENAM : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO IV ( 1868 – 1883 )
Ia diangkat menjadi bupati keenam dengan besluit tanggal 4 September 1868. Sebelum diangkat menjadi bupati ia menjadi mantra polisi di Purareja (Klampok). Selanjutnya tanggal 1 Mei 1849 menjadi asisten wedono (camat) Sokaraja. Dan tanggal 5 Oktober 1866 menerima besluit sebagai Patih Banyumas.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan.
BUPATI KETUJUH : RADEN ADIPATI TUMENGGUNG DIPOKUSUMO V ( 1883 – 1899 )
Pengganti Raden Adipati Dipokusumo IV adalah putra kandungnya sendiri dari istri kedua (putri Embah Haji Mohammad, cucu Tumengguang Selomanik, cicit Pangeran Bayat) yaitu Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V. Ia juga dikenal sebagai Kanjeng Candiwulan.
Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V juga dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.
BUPATI KEDELAPAN : KANJENG RADEN ADIPATI ARYO DIPOKUSUMO VI ( 1899 – 1925 )
Setelah Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V berhenti karena pension, digantikan oleh adiknya Raden Darmokusumo. Ia diangkat berdasarkan besluit tanggal 13 September 1899.
Raden Darmokusumo (Dipkusumo VI) dilahirkan di Sokaraja tahun 1852, putra Raden Adipati Dipokusumo IV.
KRA Dipokusumo VI adalah seorang amtenaar (pegawai negeri0 yang sangat disiplin dan jasanya sanat besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Sehingga tanggal 26 Agustus 1919 ia mendapat gelar Aryo sehingga nama dan gelarnya menjadi Kanjeng Raden Adipati Aryo (KGPAA) Dipokusumo VI GSOON. (GSOON adalah penghargaan bintang jasa dari pemerintah Hindia Belanda). Ia juga satu satunya bupati Purbalingga yang memperoleh hak menggunakan “song-song jene” (paying mas) sebagai lambing kebesaran.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.
BUPATI KESEMBILAN : RADEN MAS ADIPATI ARYO SUGONDO ( 1925 – 1949 )
KGPAA Dipokusumo VI GSOON memerintah Purbalingga selama 25 tahun dan berhenti karena pension. Sebagai pengganti diangkat putra sulungnya dari istri padmi (Raden Ayu Sriyati, putrid BRMA Suryoputro, cucu KGPAAMangkunegoro II) yakni Raden Mas Sugondo. Ia diangkat sebagai bupati tanggal 29 Oktober 1925 dengan gelar Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo.
Pada masa pemerintahannya, wilayah Purbalingga dibagi menjadi Tiga kawedanan yakni :
1. Kawedanan Purbalingga (Kec Purbalingga, Kutasari, Kalimanah, Kaligondang dan Kemangkon ).
2. Kawedanan Bobotsari ( Kec Bobotsari, Mrebet, Karanganyar dan Karangreja)
3. Kawedanan Bukateja (Kec Bukateja, Kejobong, Karangmoncol dan Rembang)
Pada masa pemerintahannya juga dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat yang diketuai Bupati. Anggotanya 19 orang (2 orang Belanda, 2 orang bukan Belanda dan bukan pribumi dan 15 orang pribumi).
BUPATI KESEBELAS : MAS SUYOTO
Setelah kemedekaan RI, kedudukan Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo tetap sebagai bupati Purbalingga (ke-sepuluh). Namun beberapa waktu kemudian seorang pejabat karesidenan Banyumas yakni Mas Suyoto ditunjuk sebagai bupati Purbalingga kesebelas. Mas Suyoto menjabat sebsagai bupati hanya sampai pertengahan tahun 1947.
BUPATI KEDUA BELAS : RADEN MAS KARTONO
Dalam situasi dan kondisi yang sangat gawat, pemerintah RI mengangkat Patih Raden Mas Kartono yang sedang bergerilya berjuang bersama TNI sebagai bupati ke dua belas. Ia bermukim di luar kota. Dengan demikian terdapat dua versi bupati yang memerintah Purbalingga yakni Raden Mas Tumengguang Aryo Sugondo versi recomba Belanda dan Raden Mas kartono versi pemerintah RI.
Ini adalah masa berakhirnya bupati keturunan Ki Arsantaka. Selama agresi militer I dan II, RMTA Sugondo dalam melaksanakan pemerintahan merasa tertekan karena tidak diberi kekuasaan sebagaimana mestinya seorang bupati. Sehingga sebelum saatnya pensiun ia mengajukan permohonan berhenti karena kesehatannya tidak mengijinkan. Tanggal 31 Desember 1949, RMTA Sugondo meninggal dan jenasahnya dimakamkan di Giri Cendana.
RMTA Sugondo adalah bupati terakhir dari kleturunan Ki Arsantaka, cikal bakal pendiri kota Purbalingga.
Setelah itu pengangkatan bupati berdasarkan keturunan tidak berlaku lagi tetapi berdasarkan pemilihan oleh DPRD.
RMTA Dipokusumo II berhenti karena pension tahun 1855, dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Dipokusumo III (anak dari istri ketiga yaitu Raden Ayu Karangsari).
Setelah RMTA Dipokusumo II wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana desa Kajongan, Bojongsari.
BUPATI KELIMA : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO III ( 1855 – 1868 )
Raden Adipati Dipokusumo III sebelumnya bernama Ngabehi tarunokusumo. Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan, Bojongsari.
BUPATI KEENAM : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO IV ( 1868 – 1883 )
Ia diangkat menjadi bupati keenam dengan besluit tanggal 4 September 1868. Sebelum diangkat menjadi bupati ia menjadi mantra polisi di Purareja (Klampok). Selanjutnya tanggal 1 Mei 1849 menjadi asisten wedono (camat) Sokaraja. Dan tanggal 5 Oktober 1866 menerima besluit sebagai Patih Banyumas.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan.
BUPATI KETUJUH : RADEN ADIPATI TUMENGGUNG DIPOKUSUMO V ( 1883 – 1899 )
Pengganti Raden Adipati Dipokusumo IV adalah putra kandungnya sendiri dari istri kedua (putri Embah Haji Mohammad, cucu Tumengguang Selomanik, cicit Pangeran Bayat) yaitu Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V. Ia juga dikenal sebagai Kanjeng Candiwulan.
Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V juga dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.
BUPATI KEDELAPAN : KANJENG RADEN ADIPATI ARYO DIPOKUSUMO VI ( 1899 – 1925 )
Setelah Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V berhenti karena pension, digantikan oleh adiknya Raden Darmokusumo. Ia diangkat berdasarkan besluit tanggal 13 September 1899.
Raden Darmokusumo (Dipkusumo VI) dilahirkan di Sokaraja tahun 1852, putra Raden Adipati Dipokusumo IV.
KRA Dipokusumo VI adalah seorang amtenaar (pegawai negeri0 yang sangat disiplin dan jasanya sanat besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Sehingga tanggal 26 Agustus 1919 ia mendapat gelar Aryo sehingga nama dan gelarnya menjadi Kanjeng Raden Adipati Aryo (KGPAA) Dipokusumo VI GSOON. (GSOON adalah penghargaan bintang jasa dari pemerintah Hindia Belanda). Ia juga satu satunya bupati Purbalingga yang memperoleh hak menggunakan “song-song jene” (paying mas) sebagai lambing kebesaran.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.
BUPATI KESEMBILAN : RADEN MAS ADIPATI ARYO SUGONDO ( 1925 – 1949 )
KGPAA Dipokusumo VI GSOON memerintah Purbalingga selama 25 tahun dan berhenti karena pension. Sebagai pengganti diangkat putra sulungnya dari istri padmi (Raden Ayu Sriyati, putrid BRMA Suryoputro, cucu KGPAAMangkunegoro II) yakni Raden Mas Sugondo. Ia diangkat sebagai bupati tanggal 29 Oktober 1925 dengan gelar Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo.
Pada masa pemerintahannya, wilayah Purbalingga dibagi menjadi Tiga kawedanan yakni :
1. Kawedanan Purbalingga (Kec Purbalingga, Kutasari, Kalimanah, Kaligondang dan Kemangkon ).
2. Kawedanan Bobotsari ( Kec Bobotsari, Mrebet, Karanganyar dan Karangreja)
3. Kawedanan Bukateja (Kec Bukateja, Kejobong, Karangmoncol dan Rembang)
Pada masa pemerintahannya juga dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat yang diketuai Bupati. Anggotanya 19 orang (2 orang Belanda, 2 orang bukan Belanda dan bukan pribumi dan 15 orang pribumi).
BUPATI KESEBELAS : MAS SUYOTO
Setelah kemedekaan RI, kedudukan Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo tetap sebagai bupati Purbalingga (ke-sepuluh). Namun beberapa waktu kemudian seorang pejabat karesidenan Banyumas yakni Mas Suyoto ditunjuk sebagai bupati Purbalingga kesebelas. Mas Suyoto menjabat sebsagai bupati hanya sampai pertengahan tahun 1947.
BUPATI KEDUA BELAS : RADEN MAS KARTONO
Dalam situasi dan kondisi yang sangat gawat, pemerintah RI mengangkat Patih Raden Mas Kartono yang sedang bergerilya berjuang bersama TNI sebagai bupati ke dua belas. Ia bermukim di luar kota. Dengan demikian terdapat dua versi bupati yang memerintah Purbalingga yakni Raden Mas Tumengguang Aryo Sugondo versi recomba Belanda dan Raden Mas kartono versi pemerintah RI.
Ini adalah masa berakhirnya bupati keturunan Ki Arsantaka. Selama agresi militer I dan II, RMTA Sugondo dalam melaksanakan pemerintahan merasa tertekan karena tidak diberi kekuasaan sebagaimana mestinya seorang bupati. Sehingga sebelum saatnya pensiun ia mengajukan permohonan berhenti karena kesehatannya tidak mengijinkan. Tanggal 31 Desember 1949, RMTA Sugondo meninggal dan jenasahnya dimakamkan di Giri Cendana.
RMTA Sugondo adalah bupati terakhir dari kleturunan Ki Arsantaka, cikal bakal pendiri kota Purbalingga.
Setelah itu pengangkatan bupati berdasarkan keturunan tidak berlaku lagi tetapi berdasarkan pemilihan oleh DPRD.
seharusnya ini d masukkan dalam pelajaran sejarah di sekolah2 yg ada d purbalingga supaya mereka mengerti sejarahnya kota sendiri.
BalasHapus